Seru-seruan jelajahi Malang dengan berjalan kaki
Oleh: Putriyana Asmarani
Splendid Inn, sekarang Wisma Tumapel |
Kekasihku telah mati, ia dihabisi bangsanya sendiri. 1947,
kupandangi hangus tubuhnya, roboh dari tiang gantungan. Tergeletak ia seperti
bongkahan arang, di atas jasadnya abu menjadi pengganti kelopak bunga. Tidak
ada kutilang apalagi burung gereja, mungkin sama sepertiku, mereka mengungsi di
Tumpang karena kota tempat mereka bersarang penuh dengan lolongan tangisan
panjang dan api yang membakar. Rekan pejuang mengatakan, “Tenangkan hatimu Soeparman,
lagi pula kau tidak bisa pastikan itu jasad Miriam atau bukan.” Tak goyah
hatiku membantah:
“Bahkan kalau Miriam jadi butiran tanah sekalipun, aku
tetap bisa mengenalinya.”
Di atas tanah kering kerontang, tubuhnya menghitam. Aku
menulis surat-surat panjang seakan sedang berbincang dengan ia yang telah
menyatu dengan alam.
***
Villa Bella Vista |
Di:
Kelurahan
Tumenggungan, (1920)
Splendid Inn dan
Bella-Vista
Tempat
Peristirahatan Petinggi Belanda dan Priyayi Pribumi.
Perpisahan,
Mevrow, saya
takkan lupa kali pertama Mevrow menangis dihadapan Tuan karena perkara mencintai
saya. “Miriam! Ingat, dia adalah kentut sapi sedangkan kau setangkai mawar!”
Setelah itu Tuan mengusirku dari rumah, tempat keluargaku mengabdi turun-menurun
selama tiga generasi lamanya. Tuan berkata satu-satunya pribumi yang boleh
mencintaimu harus sama kaya, kalau perlu punya rumah macam Bella-Vista.
Sedangkan menjadi aku, menjadi Soeparman, hanya bisa menantapmu termanggu di
sudut jendela Splendid Inn. Dari kejauhan, jarak semakin jelas terlihat, karena
di hadapan kita terbentang Sungai Brantas.
Di belakang
penginapan kaki kita mencapai tepian Sungai Brantas, kupanggil namamu, kau
sebut namaku tiga kali. “Soeparman, Soeparman, Soeparman, sampai matipun hanya
kau yang kusayang.” Mevrouw...Mevrow Miriam, Orang Belanda bilang selama orang
sepertiku tak mampu menyewa kamar di Splendid Inn atau membangun rumah macam
Bella-Vista, selamanya kami takkan dianggap setara.
Dari kekasihmu
Soeparman,
Di:
Tempat jasadmu
berada
***
Ruang di SMAN 1, Sempat menjadi Markas Kompetei Jepang di tahun 1942 |
Kepada kekasihku, Mevrow Miriam
Di:
Markas Kompetei Jepang, (1942)
depan lapangan
Jan Pieterzoon Coen
Alun-alun Tugu, dulu bernama JP Coen
Persembunyian,
Tiga tahun Tuan
kembali ke Belanda, Mevrow menetap dan merana. Jepang merambak di Kota. Sekolah
HBS dan AMS Mevrouw diubah mereka menjadi Markas Kompetei. Mengincar mereka
kepala Mevrouw untuk dihabisi di ruang pembantaian.
Mevrouw tak lupa
kejadian itu, saat saya bilang pada emak kita mesti selamatkan Mevrouw. Emak
berkata, “Cukup besarkah hati kita untuk menampung orang yang dulunya mengusir
kita?” Siapa sangka Mevrouw bahwa justru di hadapan pintu kematian kita malah
dipertemukan dengan cinta. Di rumah saya, berdinding anyaman bambu, yang bahkan
tak lebih baik dari kandang kerbau Mevrouw, justru bisa memberikan rasa aman.
Selama masa
persembunyian ini, Tuan memutuskan tak kembali ke Hindia Belanda. Dengan kabar
itu ia layangkan sepucuk surat pada Mevrouw. Dalam surat itu, bahkan Tuan
sendiri meragukan Mevrouw masih hidup. Jadi Tuan sudah bikin surat keterangan
mati untuk Mevrouw.
Dari kekasihmu
Soeparman,
Di:
Tepat di
sampingmu saat kau jadi abu
***
Kepada kekasihku, Mevrow Miriam
Di:
Soerabaja, (1946)
Agresi Militer Belanda 1
Noda Linggarjati
Pelarian,
Tak menyangka Mevrouw membalas surat Tuan, “Papa, aku
masih hidup. Keluarga Soeparman membantuku bersembunyi. Puji Tuhan aku tak
disembelih Jepang.” Lalu kemudian datang surat balasan dari Amsterdam:
“Miriam, pada bangsa sendiri kau mesti gantungkan
nasibmu. Kamu harus minggat sekarang juga dari rumah Soeparman. Aku bakal
pulang menjemputmu di Malang. Jepang bakal pergi, kami semua akan mendapatkan
milik kami kembali, dengan dan tanpa
kekerasan.”
Mevrouw bahkan tak kabur setelah dapat surat itu. Ini
adalah tangisan kedua Mevrouw dan lebih panjang dari sebelumnya. Saya berkata,
“Mevrouw, Belanda menyerang Soerabaja, Belanda pulang. Tapi ini bukan tanah air
mereka.”
Tersedu Mevrouw bicara sambil mengemasi barang, “Papa
bilang akan ke Malang, kita akan diserang. Sekarang jangan pikirkan yang
lain-lain, mari kita lari menyelamatkan diri sejauh-jauhnya.”
Dari kekasihmu
Soeparman,
Di:
Hadapanmu
***
Source : tugumalang.id |
Kepada kekasihku, Mevrow Miriam
Saat:
Malang Bumi Hangus
Agresi Militer Belanda 1
Penculikan,
Mevrouw, kekasihku. Tak kurang pribumi yang mau jadi
mata-mata Belanda, menghianati bangsa sendiri demi recehan gulden. Dan mereka
yang dibayar receh ini melaporkan bahwa Mevrouw Miriam telah membocorkan
penyerangan Belanda. Sekalian bangsat itu melaporkan, “sekarang mereka
berbondong-bondong menuju Malang Selatan.
Malam saat pelarian, entah kapan...Mevrouw tiba-tiba
hilang diculik bangsa sendiri. Malam selanjutnya orang melapor, “Soeparman!
Mevrouw Miriam dibunuh! Jasadnya digantung di tiang lampu jalan, buat
menakut-nakuti kita para gerilyawan!”
Tiga jam pingsan, saya sudah siap dikuburkan. Tapi saya
bangun untuk mengirim surat untuk Mevrouw Miriam. Barangkali saya tak kunjung
mati untuk menyusul pujaan hati. Barangkali arwah Mevrouw masih di sini. Akan
kulempar surat-surat ini pada mulut api. Kubakar habis segala tempat yang Tuan
kira miliknya. Di dunia ini, mana ada bapak yang justru menyuruh bangsanya
untuk bunuh anak sendiri?
Dari kekasihmu Soeparman,
Sedang:
Memunguti jasadmu di antara reruntuhan
***
Mevrow Miriam, sepenggal kisah cinta kita ini membuatmu makar pada bangsa sendiri, tapi meskipun begitu kau adalah pahlawan bagi bangsaku, dan tidak ada sebutan makar bagi mereka yang membela bangsa lain karena penjajahan. Seperti abu yang kini telah jadi kamu, surat-surat ini pun juga akan kubakar hangus. Semoga asapnya sampai hingga alam baka sana, terbaca olehmu yang mungkin tengah merana.
Tulisan ini adalah fiksi, kumpulan surat oleh tokoh bernama Soeparman pada kekasihnya Miriam di tengah perlawanan masyarakat Kota Malang dalam Agresi Militer Belanda 1. Kisah ini terinspirasi dari rangkaian perjalanan yang diadakan oleh Jelajah Malang pada tanggal 9 September 2023. Kegiatan tersebut adalah rangkaian kunjungan ke peninggalan di Stasiun Kota Malang, Bella-Vista, Wisma Tumapel, Balai Kota, dan yang terakhir Machito. Kegiatan ini dipandu oleh Mbak Dini.
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah satu perusahaan
pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik Raja-raja
Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpen
dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, SuaraNet.id
dan Djavatimes.
Jln. Cokroaminoto II/74, Malang, Jawa Timur
Email: jelajahmalangaja@gmail.com
WhatsApp/Telpon: 0823 3528 8384
Tidak ada komentar: