Seru-seruan jelajahi Malang dengan berjalan kaki
Beberapa minggu lalu aku dapat
kiriman buku dari seorang Teman Jelajah. So thank you banget lho kak Uning Musthofiyah
buat kiriman bukunya, tau banget sih kalau aku suka cerita-cerita dengan latar
belakang sejarah gini.
Setelah beberapa hari baca akhirnya
selesai juga menamatkan kisah dari Siti Sulahfat ini. Ternyata buku ini
merupakan buku tetralogi dengan cerita bersambung dan selesai di buku ke 4. Buku
series Tetralogi Noni Belanda ini terdiri dari buku Gadis Jawa Bermata Hijau,
Tentara Dai Nippon, Merdeka atau Mati, dan terakhir Tempoe Doeloe.
Sesuai dengan judul yang diberikan, buku ini menceritakan tentang seorang gadis jawa yang memiliki mata hijau. Apakah kalian merasakan adanya kejanggalan dari tokoh utama tersebut? Yup bener banget, bagaimana bisa seorang perempuan jawa memiliki mata hijau layaknya orang-orang barat. Misteri tersebut yang nantinya akan disibak dalam buku ini.
Diawali dengan kutipan “Sejarah
itu lebih dari sekumpulan data dan angka. Dia adalah serampai petuah dan peringatan.
Agar kita tidak jatuh di lubang yang sama”.
Uning Musthofiyah mengambil setting
waktu masa pra kemerdekaan, di mana Indonesia masih dalam kondisi dijajah oleh
Belanda. Tokoh-tokoh yang dimunculkan juga sebagian besar merupakan warga negara
Belanda yang tinggal di Indonesia tepatnya di Kota Malang.
Untuk latar tempat secara
keseluruhan mengambil tempat di Kota Malang dan ada satu adegan yang mengambil
tempat di Kota Surabaya. Tak hanya berisi tulisan saja buku ini juga dilengkapi
dengan foto-foto lama sebagai pendukung cerita. Sehingga pembaca bisa dengan
mudah membayangkan lokasi dan kondisi tempat dimana cerita ini berlangsung. Secara
ya setting waktunya tahun 1930an.
Cerita dimulai pada tahun 1930 di
Desa Krebet Bululawang, Kota Malang. Seorang gadis pribumi dalam perjalanan
pulang menuju rumahnya dari bekerja memotong tebu muda. Ditengah perjalanan dia
diganggu oleh sinyo Belanda dan di tolong oleh seorang Sinyo Belanda lainnya.
Tidak ada yang aneh dari gadis pribumi
ini selain matanya yang berwarna hijau. Dan yang membuatnya berbeda dari anak-anak
pribumi lainya adalah kemampuannya berbahasa Belanda meski tidak lancar, karena
dia pernah sekolah HIS (Holland Inlandsche School) atau sekolah dasar untuk
anak-anak keturunan bumiputra di Hindi Belanda (Indonesia).
Sesampainya di rumah dia
mendapatkan tawaran untuk meneruskan pendidikan ke sekolah HBS (Hoogere
Burgerschool) atau sekolah menengah yang hanya bisa diikuti oleh anak-anak keturunan
Belanda dan kaum elit pribumi. Untuk bisa masuk ke sekolah ini, Siti dititipkan
oleh orang tua angkatnya ke sanak saudaranya yaitu pasangan Rudolf dan Saartje
yang tinggal di Kawasan Idjen Boulevard dan tinggal jauh dari emaknya.
Putri satu-satunya dari Rudolf dan
Saartje ternyata satu angkatan dan bersekolah di tempat yang sama dengan Siti. Namun
sayangnya mereka tidak akur, Siti diperlakukan bak pembantu di rumah itu. Karena
mereka menganggap Siti hanyalah seorang pribumi yang tak layak tinggal bersama
mereka.
Meski begitu, di sekolah Siti
memiliki cukup banyak teman. Teman pertamanya adalah Hartatik Sastrodiningrat,
seorang Raden Ajeng, Putri dari seorang Bupati Kediri. Setelah itu ada Sastro,
Isabelle, dan Steven.
Meski memiliki teman, tapi tak
sedikit pula yang tidak menyukainya. Membuat dia banyak mendapatkan masalah di
sekolah. Terutama dari Elena, putri dari Rudolf dan Saartje yang sering sekali
mempermalukan Siti di Sekolah.
Dengan berbagai sikap tidak
menyenangkan dari teman-teman Belanda dan pasangan Belanda yang menampungnya
selama sekolah di HBS, apakah Siti bisa bertahan hingga lulus sekolah yang
butuh waktu 5 tahun untuk menyelesaikannya? Dan dari manakah dia dapatkan warna
hijau pada matanya?
Berbeda dari novel-novel lainnya, Gadis
Jawa Bermata Hijau ini menyajikan sisi-sisi yang menarik saat dinikmati
pembacanya. Beberapa diantaranya adalah :
Pengambilan setting masa colonial membuat
kita sedikit banyak belajar tentang sejarah Indonesia pada masa itu. Beberapa istilah-istilah
yang dipakai sedikit banyak bikin kita jadi tau tentang masa-masa pra kemerdekaan
Indonesia di Malang.
Memberikan foto-foto lawas seputar
bangunan atau kegiatan dimasa itu bikin kita flash back ke Malang masa colonial.
Secara nggak sadar kita jadi sedikit tau
gaya bangunan masa colonial Belanda di Malang kala itu.
Dalam beberapa percakapan antar
tokoh dalam cerita terdapat percakapan yang menggunakan bahasa belanda. Sehingga
sedikit banyak kita jadi tau nih tentang Bahasa Belanda yang digunakan untuk
percakapan sehari-hari.
Seperti, “Wat is de betekenis van
dat?”/ Apa artinya itu? Dan kosa kata sehari-hari lainnya.
Uning Musthofiyah merupakan seorang
pengajar di Universitas Merdeka Malang. Memiliki ketertarikan yang sangat besar
terhadap sejarah. Baginya sejarah lebih dari sekumpulan data dan angka statistic,
tetapi juga mengandung serangkaian petuah dan peringatan agar tidak jatuh di
lubang yang sama.
Selain menulis novel dia juga aktiv
dalam serangkaian pengajaran, penelitian, penerjemahan dan content writing. Tulisan-tulisan
dan segala macam pemikirannya bisa kalian baca di official websitenya www.mamauning.com (parenting, anak dan
wanita) dan www.dapatkanbeasiswa.com
(informasi beasiswa dan Pendidikan).
Jln. Cokroaminoto II/74, Malang, Jawa Timur
Email: jelajahmalangaja@gmail.com
WhatsApp/Telpon: 0823 3528 8384
Tidak ada komentar: